Selasa, 23 Agustus 2011

Sandal Jepit Isteriku

Sandal Jepit Isteriku

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang
memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak
seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop
rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak
keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa
menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah.
Katanya mau kayak Rasul? ucap isteriku kalem.

"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi
tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada
tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala
dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun
apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan.
Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja,
rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum
disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di
dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya
yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga
dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil
mengurut dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus
begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihah
itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam
mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika,
nyuci, jahit baju, beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali untuk menangis,"
batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini
berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk
kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak
bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku
lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Hamil muda?!?!

***

Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku.

"Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?"
ucapku.

"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.

"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap
isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini
kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja
menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di
depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum
selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.
Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal."Wanita, memang
suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit
sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera
kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku
jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar
bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi
harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.

"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke
tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah
mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab
umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas
ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung
sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam
melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia
begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia
hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam
hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong
baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan
isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai
Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini
aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi.
Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling
baik terhadap keluarganya."

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan
menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu
lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan
atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya
mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku
segirang ini.

"Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

***

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,
jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus.

Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri
zuhud dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa
nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

Sumber: SMCN
sarikata.com

Sabtu, 13 Agustus 2011

mengenangmu

Ku pejamkan mata, ku rasakan semua

Yang pernah ada, yang pernah singgah

Ku teteskan lara, ku kenangkan cinta perih terasa menggores jiwa

Sendiri ku kini dalam sunyi

Tanpa dirimu ada disisiku

Menetes air mata di pipi

Coba menggapai bayang dirimu

Ku hanya bisa mengenangmu

Kamis, 11 Agustus 2011

kecewa

Pernahkah kau pikirkan tentang perasaanku saat ini
Tidakkah kau lihat betapa aku kecewa olehmu
Tak cukupkah kau terus sakiti hatiku
Ku semakin tak mengerti apa maumu

Demi cinta yang ku punya tulus suci pada dirimu
Akan kucoba pertahankan meski kau telah merobek hatiku
Tak cukupkah ku bersabar selama ini
Haruskah aku mengakhiri semua ini


Mengapa dirimu terus saja membohongiku
Apa salahku kasih hingga kau tega lakukan semua itu
Aku pun tak sanggup bila harus terus begini
Tinggalkanlah aku jika memang kau sudah tak cinta lagi




Mengapa dirimu terus saja membohongiku
Apa salahku kasih hingga kau tega lakukan semua itu
Aku pun tak sanggup bila harus terus begini
Tinggalkanlah aku jika memang kau sudah...

Mengapa dirimu...
Terus saja membohongiku
Apa salahku kasih hingga kau tega lakukan semua itu
Aku pun tak sanggup bila harus terus begini
Tinggalkanlah aku jika memang kau sudah tak cinta lagi

Kamis, 04 Agustus 2011

Kado Kecil Buat Istri ku

Istriku, dengar, dengarlah
dekaplah aku, dekaplah
Aku sangat mencintaimu 
Mari kita buang duka
Istriku, coba bayangkan
anak kita yang bakal lahir
Kita pasti menyayanginya
Mari kita bagi suka
Hendaknya pertengkaran kecil
segera dapat diatasi
Bahkan jadi penyegar cinta kita
Hendaknya perkawinan ini
bukan sekedar cinta kasih
Tapi juga sebuah tanggung jawab
Mari tuntas kita reguk
satu gelas bersama
Bahagia oh! bahagia
Istriku mari renungkan
jalanan terjal berliku
Kita bakal melewatinya
Mari kita gandeng tangan
Istriku duduk istirahat
atur nafasmu dan tenang
Kita akan segera berangkat
belayar menembus pekat
Hendaknya kita 'kan berlabuh
di pantai yang penuh kembang
Harum wangi semerbak
adalah sorga hm...
Kita akan buang sauh
berenang ke pinggiran
Peluklah aku dan peluklah
Leburkan jiwa raga kita
kemudian berikrar
Bahagia oh! bahagia

 

Kapankah kita berlabuh?

Kapankah kita 'kan merapat
di pantai yang kita impikan
untuk menangis sepuas hati,
untuk melepaskan derita ini?

Kapankah kita 'kan rasakan
harumnya kembang setaman
Sekian lama kita hanya berlayar
hanya kenal lautan dan lautan

Akan ke manakah kita ini
terlempar jauh, teramat jauh?
Sampai di manakah kita kini?
Tak nampak lagi kaki langit

Bahtera ini kecil,
gampang terbawa angin
Sekelompok batu karang siap meremukkan
Kapankah kita 'kan berlabuh?

Kapankah kita 'kan bertemu
laut yang bening dan biru,
kembang warna warni,
desis ikan bernyanyi
tembang manis, teramat manis

Kapankah kita 'kan berlabuh
Rinduku menggumpal di pantai
Jangan hanya diam
Mari kita berdoa
Berhembuslah angin ke sana

Akan ke manakah kita ini
terlempar jauh, teramat jauh?
Sampai di manakah kita kini?
Tak nampak lagi kaki langit

Bahtera ini kecil,
gampang terbawa angin
Sekelompok batu karang siap meremukkan
Kapankah kita 'kan berlabuh?
 

Senin, 01 Agustus 2011

seumpama kau ada
hati dan jiwaku terhibur
masa lamun berakhir
biarlah kutemukan
kepingan hatiku yang hilang
semua bisa merasakannya
bahwa dia benci aku....

tiada

tiada lagi kabut pagi ini
namun dinginnya menembus jiwa
dingin itu hanya rasa
dingin itu ada
ketika hangat itu tiada
mentari hadir bersama hangatnya
itulah arti hadir nya
memberi kehangatan
yang menghidupkan jiwa

begitulah
walau mungkin kau tak sadar
bahwa kadang kehadiran melebihi cinta
arti hadirmu membawa rasa
entah itu cinta entah itu rindu
itulah rasa
namun arti hadir
melebihi rasa
dan kau tak hadir lagi...
wahai mentari hati...