Senin, 23 November 2015

puisi rindu 1

gerimis sore ini
mengingatkan lagi aku akan dirimu
yang sudah lama menghilang
dalam kabut kelabu sanubari yang kelu

gerimis sore ini
mengingatkan lagi aku akan dirimu
masihkah kau buatkan teh sore untukku?
ya teh sore untukku, untuk sekedar mengenang masa lalu..

aku merindu mu
namun masih adakah aku di hati mu?

Jumat, 16 Oktober 2015

dalam jarak sejauh ini

Apa yang menyenangkan dalam jarak sejauh ini? Aku tak bisa menatapmu dan jemariku tak bisa menyentuh lekukan wajahmu. Apa yang bisa kita harapkan dari jarak ratusan kilometer yang memisahkan kita? Ketika rasa rindu menggebu, dan kutahu kautak ada di sisiku. Sejauh ini kita masih bertahan, entah mempertahankan apa. Karena yang kurasa sekarang, cintamu tak lagi nyata; selebihnya bayang-bayang. 

Dalam jarak sejauh ini, mungkinkah kita masih saling mendoakan? Seperti saat kita dulu masih berdekatan. Aku tak lagi paham saat-saat dingin mencekam, kamu tak duduk di sampingku, juga tak mendekapmu dengan hangat. Aku tak lagi mengerti, saat air mataku terjatuh, hanya ada tanganku (bukan tanganku) yang menghapus basah di pipiku. Jelaskan padaku, apa yang selama ini membuatku masih ingin bertahan? 

Aku hanya bisa menatap fotomu. Diam-diam merapal namamu dalam doa. Mendengar suaramu dari ujung telepon. Kulakukan semua seakan baik-baik saja, seakan aku tak terluka, seakan tak ada air mata; aku begitu meyakinkanmu, bahwa tak ada yang salah di antara kita. Dan, apakah di sana kaumemang baik-baik saja? Apakah rindu yang kita simpan dalam-dalam akan menemukan titik temu? 

Sayang, aku lelah. 

Pulanglah.


(kali ini hanya sekedar copas karena pas)

Senin, 12 Oktober 2015

rindu satu senja

tahu kah kau
aku butuh kamu saat ini
senja ini tak lengkap
dan akan kah menjadi senja
seperti senja-senja sebelumnya
yang harus kuhabiskan
bersama langit-langit
bersama tembok putih
dan senandung lagu
yang tak lagi bisa menghibur gundah hati ku

tahu kah kau
dunia bukan harus ku jalani sendiri
tapi mengapa engkau justru pergi
untuk apa engkau dulu datang?

pergilah..
bawalah apa saja yang kau mau
tapi tinggal kan hati ku
kembalikan hati ku
mengapa hati ku selalu masih saja kau bawa
kejamlah pada ku
koyak kan hati ku dan biarlah dia kembali
padaku

aku ingin satu senja tanpa memikirkan mu
aku ingin satu senja yang indah tanpa mengingat kenangan bersama mu
aku ingin satu senja saja....
untuk membiarkan cinta baru tumbuh
dan menjadi benalu yang mematikan tumbuhan cinta mu.

kau ramu dengan apa cintamu yang kau berikan padaku
sehingga aku demikian mabuk dan tak tersembuhkan..

aku lelah..
aku ingin satu senja saja tanpa mu
agar aku bisa mencintai pengganti mu
sekali saja untuk selamanya....

entah

entah
bagaimana aku harus bercerita
seakan dunia bersatu melawanku
ketika semua seakan salah tempat
dan tidak ada yang tepat...

entah
mengapa aku merindukan mu disaat seperti ini
biasanya engkau ada
sekedar menyapa dan bertanya
"apakah semua baik-baik saja?"
dan pada akhirnya
aku hanya menjawab
dengan air mata

entah
mengapa aku merindukan mu datang
sehingga aku bisa menghambur ke pelukmu
dan menumpahkan seluruh tangis ku
dan ringanlah semua beban ku...

jujur..
aku kadang merasa sepi
bisakah aku mendapatkan mu kembali
meski tersisa setengah hati mu
ya setengah hati mu
kalau boleh ku minta itu dari mu...
(meski untuk itu pun tak kan mungkin terjadi)


Kamis, 08 Oktober 2015

peluk yang sunyi nan gersang....

(kisah kasih dunia maya angin dan bidadari)

Dia selalu memeluk-ku seperti ini.
Dengan lengan yang begitu lekat dan hangat,
sampai bibir-ku tak mampu lagi ceritakan luka yang kurasakan.
Pelukan itu menjalar
hingga ke sudut-sudut hati
yang sempat dingin oleh pengabaian-nya.
Ia mengecup puncak kepalaku
dengan lembut berkali-kali,
dan kala itu aku hanya terdiam;
tak banyak bicara-
karena pelukan sudah jelaskan segalanya.
Tentu saja tak ada lagi air mata,
karena desah napasnya
yang sejak tadi berembus menyentuh rambut-ku...
benar-benar membuatku terasa aman dan terlindungi;
walau hanya detik saja, aku benar-benar merasa bahagia.

Di malam sedingin ini,
saat dia semakin eratkan peluk-nya,
lagi-lagi dia bercerita tentang kita.
Kita yang selalu saja terlupakan olehnya,
kita yang sebenarnya tak pernah ada,
kita yang sebabkan luka
namun tak ingin mengobati-nya bersama-sama.
Aku tak banyak berkomentar,
ketika tawa renyahnya kembali mereka-reka bayang semu.
Kubayangkan tubuhnya
yang tak akan pernah jauh dari pandangan.
Kudekap hangat dadanya,
tenggelam sangat lama di sana.
Sayangnya, hanya bayangan yang tak akan mencapai kenyataan.

Aku menengadahkan wajah,
menatap matanya dalam-dalam.
Tak kutemukan cahaya di mata itu,
hanya kekosongan,
juga kegelapan.
Apa yang kuharapkan
dari sosok
yang tak pernah berikan aku jawaban?


membaca kamu

"Aku memeluknya rapat sekali. Tak sejengkal pun tubuh kami menjauh. Embusan napasnya terdengar hangat di telingaku, menelusup masuk ke dalam dadaku. Ia menerima pelukanku dengan ikhlas, tak bergerak banyak, hanya diam. Pejaman matanya sesekali terbuka, memandangku dengan tatapan lembut dan teduh. Mata itulah yang berkali-kali menghipnotisku, setiap kali aku memandanginya. Tatapan yang tak jemu-jemu kunikmati, sebelum waktu memisahkan kita nanti.
            "Dingin." desahnya pelan.
            Aku beraksi, kueratkan pelukanku. "Masih dingin?"
            "Tidak. Terima kasih."
            Senyumnya selalu begitu. Senyum yang lebih manis, dan semakin manis jika kupandangi terus-menerus. Jemariku menyentuh rambutnya yang hitam, dan semakin hitam karena pemandangan di luar jalan juga menggelap.
            Aku mengintip ke luar jendela, lampu jalanan yang terlihat remang-remang tak membantuku mengetahui keberadaanku saat ini. "Masih lamakah kita sampai?"
            "Sebentar lagi, sudah tiga jam bus ini melaju."
            "Cepat sekali rasanya, apa karena malam ini kulewati bersamamu?"
            Ia tertawa kecil, mendekatkan bibirnya ke bibirku, lalu sekejap; jantungku berdegup kencang. Ia menciumiku, dan aku hanya bisa diam. Sungguh, aku merasa bodoh dan seperti anak kecil. Padahal, bukan ciuman pertama, tapi gerakan bibirnya sungguh berbeda dari bibir siapapun yang pernah kucium. Aku mengedip-ngedipkan mata, telapak tangannya menutupi mataku... dia kembali mengecupku.
            Menit-menit yang berlalu dengan sangat manis, sungguh tak ingin kutukar dengan kebahagiaan lain yang mungkin lebih menjanjikan. Dia, yang begitu sederhana, benar-benar menjadikanku sempurna. Sempurna sebagai pria. Sempurna sebagai manusia."

.............................

demi membaca itu
aku seakan membaca lagi dirimu
lembar-lembar kisah lama seakan 
dibuka kembali perlahan...
ketika hangatnya cinta melelehkan sukma
ketika dingin adalah impian agar bisa kunikmati hangat mu

demi membaca itu
seakan terbaca lagi puisi lama kita
tentang kisah angin dan bidadari
tentang senja di pantai sepi
tentang embun yang lenyap oleh hangat nya mentari
tentang cerita senja di bukit sunyi 


Rabu, 07 Oktober 2015

aku - kamu - dia

kamu masih merasakan sesak yang sama.
Kamu tahu bahwa pada akhirnya kamu akan sesedih ini,
kamu berusaha menghindari air mata sekuat yang kamu bisa.
Tapi, aku tahu,
kamu adalah wanita paling tidak kuat
menahan kesedihan.

Aku  mendengar cerita mu  tentang dia
Kamu selalu bercerita pada ku  tentang dia.
Seberapa dalamnya perasaanmu,
seberapa kuat cinta makin menerkammu,
dan seberapa hebat senyumnya
bisa begitu meneguhkan langkahmu.

Aku tahu seberapa dalam perasaanmu padanya
dan betapa kamu takut
perbedaan antara kamu dan dia menjadi jurang.
Kamu tak pernah memikirkan perpisahan selama ini,
tapi ternyata hal yang begitu tak ingin kau pikirkan
pada akhirnya terpaksa masuk otakmu.
Kamu dan dia tak lagi seperti dulu.
Sapaannya tak lagi sehangat dulu,
senyumnya tak lagi semanis dulu,
dan tawanya tak lagi serenyah dulu.
kamu tak tahu perubahan macam apa
yang membuat sosok nya
menjadi begitu berbeda.

Dari semua sikapmu,
tak mungkin aku tak tahu 
kamu punya perasaan lebih padanya.
Dari semua ceritamu,
tak mungkin aku tak paham 
bahwa kamu mulai jatuh cinta padanya.
kamu terlalu banyak diam dan memendam,
mungkin di situlah kesalahanmu.
Terlalu egois mengatakan dan terlalu takut mengungkapkan.
Kamu tak bisa menyalahkan siapa-siapa
dan tak bisa mengkambinghitamkan siapa pun
Bukankah dalam cinta tak pernah ada yang salah?


Jumat, 02 Oktober 2015

cinta butuh waktu....

Aku mengulum bibirku.
Usahaku masih terlalu dangkal baginya.
Cinta yang kutunjukkan
ternyata belum cukup menyentuh hatinya.
Ia masih terpaut pada masa lalu
ketika aku sudah menganggap sosoknya
sebagai masa depan.
Ia masih belum melupakan masa lalunya,
ketika aku secara perlahan-lahan
berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
           
Aku belum berhasil seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan
dan berjuang lebih dalam.
Aku akan terus berjuang,
sampai ia juga menganggapku masa depan,
seperti aku selalu menganggap dia
sebagai bagian masa depanku.

Cinta butuh waktu.
Butuh waktu untuk membuat ia
segera melupakan masa lalunya
kemudian mencintaiku.
Butuh waktu untuk membuat ia memahami,
ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.

Cinta memang butuh waktu.


Kamis, 01 Oktober 2015

(bukan) Jatuh Cinta

Jatuh cinta
adalah
dua kata
yang sulit dijelaskan.
Tidak terdefinisikan.
Soal hati,
kata-kata
seakan tak ahli
untuk memaparkan nya.

Aku
tidak akan berbicara
tentang cinta,
juga tentang mimpi
omong kosong yang diciptakan
saat hadirnya cinta.
Ini semua soal kenyataan,

soal dunia yang begitu klise.

bercerita dengan air mata

Siang itu
ketika
dia bercerita
dengan menggunakan air mata,
aku tahu
bahwa beban yang ia pikul
sangatlah berat.

Air mata itu
Bak gelombang rasa yang menyimpan daya
Siap meruntuhkan apa saja di depannya.
Aku bisa rasakan
sakit yang mendera perasaannya.
Namun,
dalam duka,
selalu masih terselip
bahagia..
yang bercerita padaku,
walau dengan suara tertatih,

walau dalam helaan napas lirih.

Rabu, 30 September 2015

retorika - cinta

Hubungan yang berakhir tanpa penjelasan 
tidak pernah sebahagia hubungan 
yang berakhir karena adalah alasan dan penjelasan. 
Namun, tidak dapat dipungkiri, 
perpisahan yang beralasan ataupun tidak beralasan 
sama-sama menimbulkan rasa sakit yang sama bukan? 
Meskipun banyak orang bilang cinta itu tanpa alasan, 
apakah berarti perpisahan yang terjadi harus juga tanpa alasan?

sewaktu - aku - menulis - mu

Jika waktu bisa diputar ulang, 
aku tentu akan menolak uluran tanganmu 
saat menyebut nama. 
Jika waktu bisa diputar ulang, 
aku akan menolak perkenalan 
yang kamu tawarkan. 
Jika tahu akhir 
cerita kita akan sesedih ini, 
lebih baik aku tak pernah memulai semua, 
tak perlu tahu lagi tentangmu, 
dan tak perlu membalas semua chat-mu kala itu. 
Jika tahu kamu akan pergi dengan cara seperti itu, 
aku tentu tidak akan pernah berkata iya 
saat kamu menyatakan cinta.

Maaf, 
untuk segala tulisan tak masuk akal 
yang aku tulis tentangmu, 
untuk segala pertanyaan 
yang tak pernah ada jawaban, 
dan untuk segala perasaan 
yang harusnya tak lagi ada. 
Maaf , 
jika aku masih saja menulis tentangmu 
meskipun hubungan kita telah berakhir. 

menulis mu , 
membuat aku merasa kamu masih hidup dalam duniaku. 
aku bisa memelukmu sepuas yang aku bisa. 
aku bisa memilikimu tanpa banyak larangan. 
aku bisa terus memandangimu, 
menganggap semua perpisahan ini tak pernah terjadi, 
berandai bahwa kamu sedang di depanku
selalu dekat... walau tak mungkin "sedekat" itu....

Senin, 28 September 2015

sekarang...

Sekarang, 
aku terbaring lemah di ranjangku, 
dan hanya bisa membaca ulang percakapan kita 
Mungkin, kamu tidak akan pernah tahu, 
di tengah kelelahanku 
sebenarnya aku masih membutuhkanmu. 
Kalau boleh jujur, 
aku sangat ingin ditenangkan oleh percakapan kita seperti dulu. 
Saat kamu menanyakan apa saja yang sudah aku makan, 
saat kamu menasehatiku banyak hal, 
saat kamu membuatku semakin merindukan pertemuan kita, 
saat kamu bercerita tentang pekerjaanmu hari ini, 
saat kamu selalu berhasil membuatku tertawa, 
dan saat kita masih dalam keadaan baik-baik saja.

Aku tidak berkata bahwa saat ini kita tidak baik-baik saja, 
tapi bisakah kau menjawab apa yang terjadi di antara dua orang; 
yang sekarang tidak lagi saling menyapa? 
Aku merindukanmu, 
merindukan percakapan kita hingga larut malam. 

Kamis, 03 September 2015

Surat 1

Tuan yang terhormat! Tak dapat saya sembunyikan kepada Tuan, malah saya akui terus terang bahwasanya seketika membaca surat-surat Tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati saya.
Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat Tuan itu, timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus asa, tangis orang yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai.
Tangis dan kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua. Kita akan sama-sama menangis buat sementara waktu, laksana tangis anak-anak yang baru keluar dari perut ibunya. Nanti bilama dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebar.
Kelak Tuan akan merasai sendiri, bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah buat kebahagiaan Tuan. Allah telah sediakan hidup yang lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan Tuan di belakang hari.
Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan Tuan pun hidup dalam melarat pula, tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga.
Maka lebih baik kita singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik kita berpisah, dan kita turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat buat di hari nanti.
Saya pun merasai sebagai yang Tuan rasakan, yaitu kesedihan menerima vonis itu. Tetapi Tuan harus insaf, sudah terlalu lama kita mengangan-angan barang yang mustahil, baik saya maupun Tuan.

Tuan pilih sajalah seorang istri yang lebih cantik dan lebih kaya dari pada saya, dan marilah kita tinggal bersahabat buat selamanya.
Kepada Aziz tak usah Tuan kecil hati, dia tak salah dalam perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan yang tetap buat bersuami dia; lawan saya musyawarah ialah hati saya sendiri, sehingga saya terima tawaran ninik mamak saya.
Dan, saya harap Tuan lupakanlah segala hal yang telah berlalu, maafkan segala kesalahan dan keteledoran saya, sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan tidak ada saja.
Hayati

Jumat, 28 Agustus 2015

dalam hati saja

kau pernah katakan rasa rindu semua hanya padaku kau juga ungkapkan rasa sayang tuk yakinkan kuingini mengapa kini tiada sehangat seindah dulu andai rasa itu pergi salahkah aku dengan segala anganku andai rasa itu hilang biarkan aku rasakan indah cinta dalam hati saja ohh mengapa kini tiada sehangat seindah dulu andai rasa itu pergi salahkah aku dengan segala anganku 
andai rasa itu hilang biarkan aku rasakan indah cinta dalam hati saja ...

kucoba menghapus bayang bayang 
masih ku bertanya 
adakah kumenunggu bila semua ini tak menentu kuragu... salah aku dengan segala anganku 
andai rasa itu hilang 
biarkan aku rasakan indah cinta 
dalam hati saja 
(Andai Rasa itu pergi salahkan 
aku dengan segala anganku) 
andai rasa itu hilang 
biarkan aku rasakan indah cinta 
dalam hati saja


Senin, 24 Agustus 2015

aku menunggu

Aku melirik ke belakang,
melihat dan mengingat
apa saja yang pernah kita lakukan.

Aku ingat
ketika kamu memerhatikanku
dengan baik dan peduli.

Aku merekam
segala rasa cemasmu
ketika aku bercerita masa lalu.

Aku mengenang
rangkulan dan gandengan tanganmu
yang kurasakan pertama kali.

Rasanya,
aku tak cukup kuat
untuk mengembalikan segalanya
kembali
seperti awal perkenalan kita.

Aku menunggu
saat kita bisa bertemu lagi,
saling menumbuhkan
rasa percaya juga cinta.

Aku menunggu kamu datang,
membawa pelukan juga rindu yang kaupendam.
Mungkinkah kaupunya
rindu sedalam dan seluas yang kusimpan?

Mungkinkah kaupunya
cinta dan sayang sekuat dan seindah yang kupunya?

Mungkin iya,
mungkin juga tidak.
Kamu begitu sulit kutebak,
tapi aku mencintai segala teka-tekimu.



(ini yang pertama setelah sekian lama...)