Aku  semakin frustasi dibuatnya, wanita memang selalu pandai memutar-mutar  masalah hingga tak jelas lagi inti dari masalah tersebut. Aku menatapnya  geram, dengan cepat kuulurkan tanganku, kuraih tubuhnya, kini dia  rasakan lenganku menghangatkan tubuhnya, "Salahku, yang terlalu cepat  mengambil keputusan. Salahku, yang mengenalmu dengan begitu instan.  Menyatakan cinta dengan begitu cepat, padahal kita belum saling  mengenal, belum saling tahu. Tapi, kenapa kau bisa begitu menyakitiku?  Apakah yang instan selalu membawa kesedihan?"
Dia  memang tak membalas pelukku, tapi dia mematung, aku tahu dia turut  larut dalam hangatnya suasana kali itu, hanya pada saat itulah kami bisa  berbicara dengan begitu dekat, dengan pelukan lekat, "Kalau sudah  seperti ini, siapa yang pantas disalahkan? Tuhan? Ah, kau tahu Tuhan  memang punya wewenang tertinggi dalam hidupmu dan hidupku, tak pantas  kalau aku dan kamu menyalahkan Dia. Cintamu dan cintaku terlalu buta,  kita membiarkan diri kita sendiri tertabrak oleh cinta dengan brutalnya.  Lalu, cinta berwujud menjadi sesuatu yang dia suka dan kita terjebak!  Kalau sudah seperti ini, bagaimana mau terlepas dari jeratannya?"
Aku menarik nafas, menenangkan diri, sesakit inikah perpisahan? Aku  pasti akan sangat merindukannya, "Berjanjilah padaku bahwa kau akan  bahagia bersama pilihanmu, meskipun kebahagiaanmu tak lagi membutuhkan  sosokku. Percuma mengharapkan kamu yang dulu kembali, kamu berubah  menjadi seseorang yang tidak lagi kukenal. Aku memang bukan pilihan." 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar