Aku benci  akhir-akhir ini hujan selalu datang tak menentu, kadang siang, kadang  malam, kadang pagi, kadang senja. Aku meradang, aku dan dia tak punya  banyak kesempatan untuk saling memandanga. Lagipula, kenapa aku harus  begitu frustasi karena kita tak bisa terlalu sering bertemu lagi?  Bukankah aku juga tak pernah tahu namanya? Bukankah aku juga tak tahu  bagaimana wajah jelasnya? Bukankah sebenarnya aku tak mengetahui siapa  dia? Kenapa aku begitu merindukan pertemuan, walau mungkin dia tidak merindukan sebuah pertemuan? Aku merenung sesaat, kenapa aku begitu terpaku pada fatamorgana?
                 Akhirnya, hujanpun menjatuhkan rambut mayangnya ke bumi dengan  bongkahan rintik-rintik kecil yang menjamu mata telanjang yang  menyaksikannya. Aku tersenyum lebar, aku akan segera menemukan dia,  malaikat hujan. Dia akan kembali memelukku, dengan kedua lengannya yang  hangat. Aku menunggu hujan semakin deras, kulihat dia ada di ujung  jalan, kali ini dia tidak menghampiriku segera, sepertinya dia juga  tidak mencariku, dengan langkah gontai, aku menghampirinya, aku  kedinginan.
                “Hey! Kenapa tidak langsung menghampiriku?” Tanpa jawaban dan pengungkapan, dia langsung memelukku. Kami saling bisu, malu-malu karena lama tak bertemu. Dia memang tidak pernah berkata sepatah katapun, dia hanya berbicara lewat peluknya, lewat kedua lengannya.
                “Aku  merindukanmu! Mengapa kau tidak segera menjawab pertanyaanku? Kemana  saja kamu?” Suara parauku beradu dengan irama deras hujan, menambah  sinyal kekesalan, dalam peluknya, dia masih membisu.
                “Aku tidak menemukan orang sepertimu dalam dunia nyata.” Ucapku lesu, merintikan hujan baru dari pelupuk mataku, air mata.
                 “Aku juga tak menemukan orang sepertimu dalam dunia fatamorganaku.”  Tungkasnya lirih dengan gemeretak giginya. Dia kedinginan.
                Cukup dengan pelukan, hanya dengan pelukan, kami saling berbicara lewat pelukan.  Sesekali dia mencium keningku, melumat bibirku, lalu kembali memelukku.  Kami hanya terdiam, kami hanya membisu, kami memang tak saling tahu, kami bahkan tak pernah tahu mengapa Tuhan merencanakan kami untuk saling bertemu.  Yang kutahu, aku selalu menunggu hujan, hanya untuk menemuinya, entah  apa yang dia tahu, karena aku pun masih belum bisa membaca pikirannya.  Yang kumengerti, kami memang tak selalu bertemu apalagi saling bertatap  mata, hanya saat hujan, kami bisa menyatu, aku dan dia menjadi kita  dalam satu pelukan yang diciptakan hujan. Saat itu, hanya awan kelabu  yang kami lihat. Selalu kelabu pun tak apa-apa, asal dia ada dipelukku,  itu saja.
                Bagiku, tak penting bagaimana seseorang saling bertemu dan memandang. Tak penting juga berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk saling berbicara lalu terdiam. Semua aspek dan teori tentang cinta menjadi sangat tidak penting, ketika dia yang ingin kutemui sudah berada di depan mataku. Bahkan, dalam kebisuaan sekalipun, kami bisa saling berbicara dan berkata rindu. Bahkan, hanya dalam pelukan semaya-mayanya sekalipun, kami bisa saling mencintai dan melindungi. Karena kebisuan tak selalu berarti benar-benar bisu, karena satu pelukan tak berarti dia akan melepas lengannya dari bahuku. 
                Aku suka berbicara dengan hujan. Aku suka merindukan seseorang yang bahkan tak kuketahui wajahnya. Aku mencintai dia yang sulit untuk Kucintai. Nyatanya, aku suka, ada yang salah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar