Jumat, 02 Desember 2011

"Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan?"

"Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan? Meskipun pertemuan itu diisi dengan kebahagiaan?"


            Mataku sayup menatapmu, pipimu yang basah oleh air mata masih menahan langkahku untuk pergi. Suaramu yang lirih seakan-akan memaksaku untuk tetap terjangkau dalam tatapan matamu. Dengan kesesakan seperti ini, tidak mungkin aku mengucap kata pisah secepat ini.
            "Kenapa kamu pergi lagi?" Ucapnya lugu dari bibir tipisnya.
            "Karena memang tempatku bukan disini." Jawabku pendek. Lalu, beberapa detik setelahnya, kesunyian datang menyeruak percakapan kecil itu.
            "Tapi, belahan hatimu kan ada disini? Aku." Katanya serius sambil menyorot mataku.
            Hanya mata kami yang saling menatap, tatapannya lekat memelukku. Hanya bola matanya dan bola mataku yang masih sibuk menari-nari dalam lintasannya. Tiba-tiba saja dia bersandar dibahuku. Kepalanya menempel lembut dengan kepalanya.
            "Jadi, kapan pulang?" Dia bertanya dengan tatapan harap, berharap aku segera melontarkan jawaban pertanyaan hatinya. Dia menggenggam lembut tanganku.
            "Belum pergi kok udah nanya pulang?" Ujarku melemah, pertanyaannya menyudutkanku.
            "Aku lebih suka menunggu kepulanganmu daripada menunggu kepergianmu."
            Lalu, kami saling memandang. Angin yang menyelinap dari jendela menciptakan bunyi-bunyi resah yang menghentakkan jendela. Suara nyamuk beradu merdu dengan helaan nafasku dan nafasnya yang memburu satu-persatu. Aku menatap langit-langit, namun sayangnya hanya langit-langit, bukan langit. Semua putih, bukan biru. Semua datar, bukan membentuk awan.
            Suara cicak mendecak kagum melihat 2 orang yang saling bersandar di tembok. Aku dan dia masih terdiam, hanya perkataan hati saja yang merancau dan berteriak di dalam.
            "Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan? Meskipun pertemuan itu diisi dengan kebahagiaan?" Tanyanya lagi. Ah! Aku kembali tersudut untuk keduakalinya.
            Aku menjawab pertanyaan sulit itu dengan semakin erat menggenggam tangannya. Mataku masih menatap langit-langit, ia juga ikut menatap langit-langit.
            Hanya langit-langit polos yang kami lihat dan di langit-langit tak ada rembulan dan matahari yang menyinari bumi bergantian, di langit-langit hanya ada cicak yang berlari-lari kecil. Bagiku, menatap langit-langit bersamanya jauh lebih baik daripada menatap langit biru tapi tidak bersamanya.
            Dia masih bersandar diam dibahuku. Matanya masih sembab. Nafasnya masih saja sesak. Kala itu, aku hanya bisa diam lalu membuka  lengan tanganku. Sepasang lengan yang saling berpeluk adalah bukti bahwa tak ada yang menginginkan perpisahan. Mungkin, aku memang harus menunda kepergianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar