Senin, 12 Desember 2011

langit - langit

Lalu, kami saling memandang. Angin yang menyelinap dari jendela menciptakan bunyi-bunyi resah yang menghentakkan jendela. Suara nyamuk beradu merdu dengan helaan nafasku dan nafasnya yang memburu satu-persatu. Aku menatap langit-langit, namun sayangnya hanya langit-langit, bukan langit. Semua putih, bukan biru. Semua datar, bukan membentuk awan.
            Suara cicak mendecak kagum melihat 2 orang yang saling bersandar di tembok. Aku dan dia masih terdiam, hanya perkataan hati saja yang merancau dan berteriak di dalam.
            "Apakah setiap pertemuan selalu butuh perpisahan? Meskipun pertemuan itu diisi dengan kebahagiaan?" Tanyanya lagi. Ah! Aku tersudut.
            Aku menjawab pertanyaan sulit itu dengan semakin erat menggenggam tangannya. Mataku masih menatap langit-langit, ia juga ikut menatap langit-langit.
            Hanya langit-langit polos yang kami lihat dan di langit-langit tak ada rembulan dan matahari yang menyinari bumi bergantian, di langit-langit hanya ada cicak yang berlari-lari kecil. Bagiku, menatap langit-langit bersamanya jauh lebih baik daripada menatap langit biru tapi tidak bersamanya.
            Dia masih bersandar diam dibahuku. Matanya masih sembab. Nafasnya masih saja sesak. Kala itu, aku hanya bisa diam lalu membuka  lengan tanganku. Sepasang lengan yang saling berpeluk adalah bukti bahwa tak ada yang menginginkan perpisahan. Mungkin, aku memang harus menunda kepergianku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar